Pemilik Kafe Takut Putar Lagu Indonesia

Berita, News35 Views

Ketakutan di Kalangan Pemilik Kafe

Pemilik Kafe Takut Dalam beberapa waktu terakhir, muncul fenomena menarik di kalangan pemilik usaha kuliner, khususnya kafe dan restoran. Banyak dari mereka memilih untuk tidak memutar lagu-lagu Indonesia karena takut dikenai kewajiban membayar royalti. Hal ini terjadi setelah sejumlah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) aktif menagih biaya royalti kepada pelaku usaha yang menggunakan musik sebagai bagian dari layanan komersial mereka.

Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Beberapa pemilik kafe mengaku didatangi oleh perwakilan LMK dan diminta membayar royalti tahunan dengan nominal yang dinilai cukup tinggi, terutama bagi usaha kecil dan menengah. Akibatnya, banyak kafe yang akhirnya hanya memutar lagu-lagu non-Indonesia atau musik bebas royalti dari luar negeri.

banner 336x280

Perlindungan Hak Cipta vs Ruang Publik

Fenomena ini menimbulkan perdebatan antara perlindungan hak cipta dan kebutuhan akan ruang publik yang ramah budaya lokal. Di satu sisi, para musisi dan pencipta lagu memang berhak mendapatkan imbalan atas karya mereka yang digunakan secara komersial. Di sisi lain, pemilik kafe merasa dibebani oleh sistem yang dianggap tidak transparan dan belum merata pengelolaannya.

Beberapa pengamat budaya mengkhawatirkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, lagu-lagu Indonesia akan semakin jarang terdengar di ruang publik. Ini bisa berdampak pada eksistensi dan promosi karya anak bangsa. Selain itu, hilangnya musik lokal dari kafe atau restoran juga berpotensi menggerus identitas budaya yang semestinya bisa tumbuh di ruang-ruang sosial.

Solusi: Edukasi dan Skema Royalti yang Adil

Solusi terhadap fenomena ini sebenarnya bisa dimulai dari dua arah. Pertama, dari sisi pemerintah dan LMK, perlu dilakukan edukasi yang masif kepada pelaku usaha mengenai pentingnya royalti dan bagaimana sistem ini bekerja. LMK juga harus menjelaskan dengan transparan kemana dana royalti disalurkan dan bagaimana pertanggungjawabannya.

Kedua, skema pembayaran royalti harus disesuaikan dengan kemampuan pelaku usaha. Kafe kecil tentu tidak bisa disamakan dengan pusat perbelanjaan besar. Jika perlu, dibuat sistem berjenjang yang lebih adil dan fleksibel.

Selain itu, muncul juga peluang untuk menggunakan platform musik digital yang sudah menjalin kerja sama resmi dengan LMK, sehingga pemilik kafe bisa tetap memutar lagu-lagu lokal tanpa khawatir dikenai biaya tambahan, karena biaya lisensi sudah termasuk dalam layanan tersebut.

Mendorong Sinergi Budaya dan Bisnis

Fenomena ini harus menjadi momentum untuk membangun sinergi antara pelaku bisnis dan dunia seni. Musik Indonesia seharusnya tidak dijauhkan dari ruang publik, justru perlu didukung dengan sistem yang adil dan edukatif. Jika skema royalti dibuat transparan dan terjangkau, maka pemilik usaha tidak perlu takut lagi memutar lagu karya anak bangsa.

Sebagai masyarakat, kita juga bisa ikut mendukung karya lokal dengan terus mendengarkan dan menghargai lagu-lagu Indonesia — baik di rumah, di kendaraan, maupun saat nongkrong di kafe.